Kumpulan Puisi Chairil Anwar


Chairil Anwar adalah seorang penyair terkemuka Indonesia yang lahir pada tanggal 26 Juli 1922 di Medan, dan meninggal pada tanggal 28 April 1949 di Jakarta, Indonesia. Ia dikenal sebagai pelopor Angkatan '45 dalam sastra Indonesia dan dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" dari karyanya yang berjudul "Aku".

Chairil Anwar banyak menghasilkan karya puisi dengan berbagai macam tema. Mulai dari puisi dengan tema kematian, individualisme hingga puisi dengan tema ekstesialisme sudah dihasilkan oleh Chairil Anwar. Semua karya dari Chairil Anwar sudah dikompilasikan dalam bentuk tiga buku. Di mana ketiga buku tersebut adalah  Deru Campur Debu yang rilis pada tahun 1949. Lalu ada buku dengan judul Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus yang dirilis pada tahun 1949 dan buku dengan judul  Tiga Menguak Takdir yang merupakan kumpulan puisi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin yang dirilis pada tahun 1950.

Beberapa Puisi Karya Chairil Anwar


1. Tak Sepadan 

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

Dikutuk sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak 'kan apa apa

Aku terpanggang tinggal rangka.


2. Pelarian


I

Tak tertahan lagi

remang miang sengketa di sini

Dalam lari

Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika

Dan paduan dua jiwa.

II

Dari kelam ke malam

Tertawa-meringis malam menerimanya

Ini batu baru tercampung dalam gelita

"Mau apa? Rayu dan pelupa,

Aku ada! Pilih saja!

Bujuk dibeli?

Atau sungai sunyi?

Mari! Mari!

Turut saja!"

Tak kuasa ...terengkam

Ia dicengkam malam.



3. Hukum


Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul.

Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya - Lesu

Pucat mukanya - Lesu

Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pekik di angkasa: Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti!



4. Rumahku


Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu.


5. Kesabaran


Aku tak bisa tidur

Orang ngomong, anjing nggonggong

Dunia jauh mengabur

Kelam mendinding batu

Dihantam suara bertalu-talu

Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara

Suaraku hilang, tenaga terbang

Sudah! tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali

Sambil bertutup telinga, berpicing mata

Menunggu reda yang mesti tiba



6. Sendiri


Hidupnya tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia memekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala

Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga

Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!



7. Suara Malam


Dunia badai dan topan

Manusia mengingatkan "Kebakaran di Hutan"*

Jadi ke mana

Untuk damai dan reda?

Mati.

Barang kali ini diam kaku saja

Dengan ketenangan selama bersatu

Mengatasi suka dan duka

Kekebalan terhadap debu dan nafsu.

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

Jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada

Dan sekali akan menghadap cahaya.

Ya Allah! Badanku terbakar - segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.


8. Aku


Kalau sampai waktuku

'Ku mau tak seorang 'kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi



9. Doa


Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh mengingat

Kau penuh seluruh

CayaMu panas suci

Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling


10. Cerita


Kepada Darmawidjaya

Di pasar baru mereka

Lalu mengada-menggaya.

Mengikat sudah kesal

Tak tahu apa dibuat

Jiwa satu teman lucu

Dalam hidup, dalam tuju.

Gundul diselimuti tebal

Sama segala berbuat-buat.

Tapi kadang pula dapat

Ini renggang terus terapat.

Posting Komentar

0 Komentar